![]() |
Foto : Dr. Andi Cibu Mattingara, SH., MH. |
Menurutnya, pemohon dalam perkara ini yakni Nomor 81/PUU-XXIII/2025 berasal dari organisasi masyarakat sipil yang tidak memiliki hubungan langsung dengan substansi UU TNI yang digugat sehingga kedudukan hukumnya atau legal standing dipertanyakan.
“Para pemohon perkara 81 yang merupakan organisasi masyarakat sipil atau lembaga swadaya masyarakat serta para pemohon lainnya yang berprofesi mahasiswa, aktivis, ibu rumah tangga tidak memiliki pertautan langsung," kata Menteri Hukum Supratman Andi Atgas.
Menanggapi hal tersebut Andi Cibu Mattingara berpendapat bahwa apa yang telah disampaikan oleh DPR dan Pemerintah adalah suatu kesesatan dalam bernegara hukum yang demokratis. Mengapa demikian karena bagaimanapun bentuk dan UU apapun setiap warga negara berhak atas pengujiannya, ini sejalan dengan ide hukum yang demokratis.
Manakala demikian secara konstitusi dalam pasal 24 C dengan tegas menyebutkan soal MK mempunyai kewenangan menguji pertentangan UU terhadap Konstitusi, sebagaimana legal standing warga negara dalam pengujian UU, ditambah dengan kelembagaan MK sendiri telah menyatakan hak warga negara dalam pengujian UU yang secara tegas menjelaskan bagaimana warga negara dalam menguji Konstitusional UU, yang termuat dalam putusan MK No. 27/PUU-VII/2009.
"Dengan demikian pandangan DPR dan Pemerintah sama sekali tidak memiliki legitimasi progresif sekaligus tidak mencerminkan adanya kemajuan hukum dan demokrasi," ujar Andi Cibu Mattingara kepada Corong Demokrasi, Rabu (25/06/2025).
Lebih lanjut, Andi Cibu menyampaikan bahwa secara umum terlepas dari UU apa saja yang di uji di MK, spirit pengujian ini adalah semangat kesadaran hukum oleh warga negara sebagai kontrol jalannya suatu pemerintahan hal ini juga telah ditegaskan dalam Konstitusi pasal 28C dan 28D yang menjamin warga negara untuk berpartisipasi dalam pemerintahan, artinya keterlibatan warga negara dalam proses legislasi adalah hak Konstitusional.
"Kita khawatir pandangan sperti DPR dan Pemerintah ini akan menjadi kebiasaan dan menjadi praktek ketatanegaraan yang notabenenya menghalangi ide demokrasi dimasa mendatang," tambahnya.
"Dalam uji formil di MK ini mestinya menjadi ruang dialektika bagi pemerintah dan DPR, juga ajang pendidikan hukum dan demokrasi bagi khalayak umum, sehingga tepat jika fokus pada mempertahankan produknya sebagaimana dalil-dalil pemohon, bukan malah mempersoalkan legal standing yang bagi saya perdebatan ini sudah ketinggalan dalam pendiskusian hukum," tutupnya.
*(red)